pada langit kosong itu, aku menghitung setiap kehilanganku. Di
sana, kuingat kembali matamu, sebagai mendung yang menyimpan rindu; barangkali
hujan akan jatuh, mencari jejak kesedihanku.
Seperti katamu dulu, aku tak tahu, tiba-tiba kau ingin menjadi mendung, “aku cukup ingin jadi mendung yang teduh.
bukan hujan, bila harus merampas kebahagiaan, bunga-bunga yang sudah tumbuh”.
Tentu saja, aku jatuh cinta dengan kata-kata itu. Sampai pada sebuah sore yang
gelisah, kau mengatakan bahwa kau juga menyukai hujan, “akan ada, hujan keemasan menetes dari buahdada langit yang ranum oleh
mendung senja; dan segala duka dahaga, sirna.”
Kini, kehilangan ialah senyummu, yang lepas di udara. Dan kenangan,
telah menjatuhkan padaku sebuah senja, yang lebih merah dari luka. Tidak
seperti katamu dulu, “tenanglah cintaku, tenanglah. selagi aku menjagamu
sebagai api berkobar: takperlu kau risau pada senja yang hampir pudar” kemudian
kau memelukku.
kuingat kembali pelukanmu: kadang sebagai sebuah kota, dengan
gedung-gedung runtuh, menyaksikan kita, dua tubuh, saling rengkuh. Kadang hanyalah berupa jembatan yang menghubungkan
dua tubuh kesedihan. Sebab seperti dalam puisi, pelukan, katanya, hanyalah
memperpanjang usia kesakitan.
Tapi, kita telah saling setuju, kesakitan sesungguhnya tak ada.
maka kau memelukku, meski setelahnya, kau lupa melepas durinya. Sejak itulah
cintaku, ada yang menyayat pedih, kala melepas kaos pemberianmu. selalu berasa
mengelupas kulitmu dari tubuhku.
0 comments:
Dí lo que piensas...